Senin, 16 April 2012

ARTIKEL : URANG AWAK DI PERANTAUAAN INDONESIA


URANG AWAK di perantauan indonesia

            Indonesia merupakan Negara kepulauaan yang memiliki beribu-ribu pulau, di Indonesia selain memiliki banyak pulau, Indonesia juga Negara yang memiliki berpuluh-puluh kebudayaan. Mulai dari sabang sampai merauke, ada suku batak, minang, sunda, jawa, dan lain-lain. Di dalam setiap budaya-budaya masyarakat Indonesia yang ada, selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu terhadap mana sebagian besar anggota masyarakat menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak benar. Sistem nilai tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang menstabilisasi sistem sosial budaya itu sendiri. Bicara apa itu sistem sosial, sistem sosial pengertian secara luas merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dan dalam bermasyarakat. 

            Menusia melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pegendali berupa rencana, aturan, resep, dan instruksi yang digunakan untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan tindakan tertentu (Geertz, 1973). Dalam pengertian ini, budaya berfungsi sebagai alat yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan.

            Kalau berbicara mengenai budaya di Indonesia, salah satu budaya yang paling terkenal adalah budaya minangkabau yang terkenal dengan seni tradisionalnya dan masakan padangnya yang terkenal di Indonesia dan bahkan sampai manca negara. Kalau berbicara tentang sejarah minangkabau, orang minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai professional dan intelektual. Hampir seluruh masyarakat minangkabau berada dalam perantauaan. Minang perantauaan umunya bermukim di kota-kota besar seperti Jakarta, bandung, medan, pekanbaru, batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar Indonesia, orang minang banyak terdapat di Malaysia dan singapura. maka tidak heran kalau orang minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya, suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di Indonesia. Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Budaya yang unik ini sering dikaitkan dengan pantun yang berbunyi:

            Karatau madang di hulu ( keratau madang di hulu )
            Babuah babungo balun ( berbuah berbunga belum )
            Marantau bujang dahulu ( merantau bujang dahulu )
            Di kampuang baguna balun ( di kampong berguna belum )

           Pantun di atas adalah sebuah dasar hukum bagi anak-anak muda minang kabau untuk menguatkan niat, melangkahkan kakinya dan berhenti untuk ragu-ragu meninggalkan keluarganya di kampung halaman untuk meraih kesuksesan di perantauaan. Dalam konsep budaya alam minangkabau dikenal dengan wilayah inti (darek) dan rantau (daerah luar). Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspensasi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai suatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik di kaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering di kaitkan dengan 3 hal, mencari harta (berdagang/ menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/ jababatan) (Navis, 1999).

            Pada umumnya para perantau minang kabau merantau bukan karena paksaan, tapi merupakan kemauaan dari diri sendiri atau bersifat sukarela, sesuai dengan keinginan hati untuk apa pergi merantau. Dalam alam pikir orang minangkabau kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya tempat untuk menumbuhkan bibit tanaman, dan jika bibit itu telah tumbuh mereka harus keluar dan mecari lahan yang lebih besar agar dapat menjadi pohon yang besar, itu artinya kampung halaman sebagai tempat untuk pembelajaran awal bagi anak-anak muda minang kabau, dan jika mereka sudah besar, mereka di haruskan untuk menimba pengalaman dan ilmu di tempat yang baru seperti di negeri orang lain, agar suatu saat bisa menjadi orag yang besar dan berilmu. Proses inilah yang terlihat pada tokok-tokoh minang yang berkiprah didunia seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir,dan Haji Agus Salim yang masa kecilnya tinggal dan belajar di kampung halaman dan setelah itu pergi merantau untuk “menjadi orang”.

            Dima bumi di pijak (dimana bumi di pijak)
            Di sinan langik di junjuang (disanalah langit dijunjung )

         Arti pantun di atas orang minang itu pandai dalam beradaptasi dengan keadaan disekitarnya, kemanapun mereka pergi merantau, dan dimana pun mereka berada. Karena adaptasinya yang kuat, orang minang banyak yang menjadi pemimpin didaerah yang rantaunya masing-masing dan diterima oleh masyarakat. Misalnya, Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946), Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955-1960), dan Muhammad Padang (1960-1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (1964-1968); Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau Gani; atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama Provinsi Jambi (1956-1957). 

            Dari hasil studi yang pernah dilakukan Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang minang mendoninasi di luar sumatera barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis minang yang tinggal di sumatera barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang minang berada di perantauaan. Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang minang di perantauaan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan perantauaan dari sumatera barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauaan. Para perantau minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar di Indonesia dan Malaysia, di pekanbaru perantau minang berjumlah 37,7% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota itu. Dikota-kota lainnya, dimana jumlah orang minang mencapai 10% atau lebih dari keseluruhan penduduk kota tersebut ialah Takengon (25,9%), Sigli (25,4%), Tanjung Pinang (20%), Binjai (16,6%), Sibolga (16,6%), Sabang (15,9%), Gunungsitoli (14,5%), Tanjung Balai (13,9%), Medan (13,5%), Padang Sidempuan (13,3%). Hampir di semua provinsi di pulau sumatera dapat ditemukan orang minang dalam jumlah yang banyak. Mereka juga dapat hidup membaur dengan masyarakat di kota-kota bahkan di pelosok di semua pulau besar di Indonesia seperti jawa, Kalimantan, sulawesi, papua, bali, nusa tenggara dan sebagainya. Dalam jumlah yang cukup banyak pula orang minang merantau sangat jauh hingga ke luar negri, menyebar ke lima benua. 

            Selaras dengan tujuan merantau yaitu mencari harta, ilmu atau pangkat dalam rangka mengembangkan diri dan mencari kehidupan yang lebih baik, maka orang minang diperantauaan berbagai profesi dan lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang, saudagar atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuan, mubaligh, serta orang berpangkat sebagai pejabat pemerintah atau kaum professional (dokter, dosen, eksekutif BUMN atau perusahaan swasta, wartawan, sastrawan dan lain-lain ). 

            Meskipun orang minang selalu membaur dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya di rantau, tapi satu hal yang unik dari para perantau minang, yakni kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Kecintaan orang minang terhadap kampung halaman setidaknya ditunjukkan dalam dua hal. Pertama, kepedulian tinggi terhadap negri asal dan adat budayanya. Kedua, dimana tempat mereka berada, mereka membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan senagari asal, sekabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan minang atau sumatera barat. 

            Diperantauaan orang minang tetap mempertahankan jati diri sebagai orang minang yang menganut “Adat basandi syarak, Syarak basandi kitabullah”. Orang minang tetap setia memelihara budaya, adat istidat, tradisi dan kesenian daerah asal mereka. Meskipun tinggal jauh di rantau, orang minang sangat peduli dengan perkembangan dan selalu mengikuti setiap informasi dari kampung. Setinggi-tinggi terbang bagau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh-jauh merantau, kampung halaman terbayang jua. Sehebat-hebatnya orang minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan pangkatnya, tetapi orang minang tetap saja membutuhkan pengakuan dan eksistensi di kampung halamannya. Orang minang yang umunya punya status sosial tinggi, kaya dan berpangkat sering terlibat dalam hal-hal per-politikan di kampung halamannya. Misalnya, orang minang perantauaan sering merasa perlu untuk ikut menentukan siapa yang akan menjadi pemerintah di kampuang halamannya, seperti pemilihan gubernur sumatera barat atau pemerintah-pemerintah yang akan memimpin kampung halamannya.  

            Tidak hanya berdagang dan mencari pangkat saja orang minang banyak yang merantau, tetapi banyak juga para pemuda-pemudi minang yang pergi merantau untuk menuntut ilmu. Contohnya dalam ruang lingkup Universitas Padjadjaran saja, perantau minang di Unpad hampir mencapai 1000 orang mahasiswa, dan itu belum termasuk mahasiswa dari keturunan minang itu sendiri. Sakik kuatnya akan kecintaan terhadap budayanya sendiri, para pemuda minang unpad sendiri mebuat sebuah UKM (unit kegiatan mahasiswa) unpad yang dinamai UPBM (Unit Pencinta Budaya Minangkabau), dan merupakan salah satu unit pecinta budaya setelah LISES (Lingkung Seni Sunda). Tidak hanya menjaga budaya dan kekeluargaan antara sesama orang minang, UPBM juga melestarikan budaya minang itu sendiri, seperti pelestarian bahasa minang, seni tari, seni musik, seni silek (silat), dan lain-lain. Hal itu membuktikan bahwa orang minang tidak hanya menjaga adat dan budayanya di kampung halamannya saja, tapi ketika di perantauaan mereka merasa mereka juga harus tetap menjaga adat dan budaya mereka tersebut agar tetap utuh. Walaupun badan di perantauaan tetapi jiwa minang mereka masih tetap hidup di diri mereka.
           
Sumber :
            Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Ghalia Indonesia.



Alhamdulillah,,,ini merupakan artikel pertama saya dalam memenuhi tugas mata kuliah saya. Semoga bermanfaat bagi para pembaca. :)

dan jika ada kekeliruan dalam pembuatan artikel saya ini bisa menghubungi saya

e-mail : all_pink_fob@yahoo.com

TERIMA KASIH UNTUK SELURUH PEMBACA !!!!! 

WARNING : TOLONG JANGAN DI COPAS !!!!!